
Manusia pada hakikatnya memiliki kemampuan untuk membentuk peradaban. Meskipun demikian, manusia juga memerlukan komunikasi agar bentuk kebudayaan tertinggi tersebut berkualitas.
BELITUNG, HUMASINDONESIA.ID – Manusia pada dasarnya memiliki tiga kemampuan untuk membentuk peradaban. Ketiganya adalah natural being, cultural being, dan spiritual being. Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof. Komaruddin Hidayat di hadapan peserta sesi Konferensi Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2023 di Belitung, Rabu (3/8/2023).
Menurutnya, ketiga kemampuan tersebut saling berkaitan. Dalam pembentuk pertama, yakni natural being, misalnya, manusia memiliki kemampuan berpikir dan refleksi. Kedua hal ini menjadi faktor utama pembeda manusia dengan hewan. Namun, manusia kerap terpengaruh oleh insting dan tidak memberi jeda saat mengambil keputusan.
Agar tidak tersesat pada kondisi nirlogika, manusia pun beralih pada kemampuan berikutnya, yaitu cultural being. Dalam fase ini, insting manusia perlahan terasah karena pendidikan dan teknologi. “Sebab, jika pendidikan seseorang hanya sebatas insting semata, maka peradaban yang berkualitas sulit dicapai,” katanya di sesi yang mengangkat tema “Membangun Peradaban dalam Keberagaman” tersebut.
Kendati demikian, Prof. Komaruddin mengatakan, manusia tidak cukup hanya berkutat pada kemampuan cultural being. Lebih dari itu, bagi alumni Middle East Technical University, Ankara, Turki, ini, manusia perlu merancang makna dan tujuan hidup. Pada tahap inilah, manusia mendalami kemampuan spiritual being.
Secara definisi, Prof. Komaruddin menjelaskan spiritual being merujuk kepada kemampuan manusia untuk berserah kepada Tuhan dan hal-hal yang di luar kendali diri untuk memperoleh kebijaksanaan.
Ketika titik keseimbangan diperoleh dari ketiga kemampuan tersebut, ia mengatakan, manusia bisa mengembangkan potensi dirinya sebagai aktor peradaban. Contoh, ketika berada di Amerika yang warga negaranya dikenal memiliki kebiasaan membantu orang lain.
Bagi warga negara berjuluk Negeri Paman Sam tersebut, hidup bukan soal mengumpulkan pundi-pundi harta semata. “Itulah sebabnya agama dan teknologi selalu dibutuhkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Komunikasi yang Autentik
Namun, sebagai bentuk kebudayaan tertinggi, Prof. Komaruddin menilai tidak mudah bagi manusia untuk mengelola peradaban. Baginya, keterampilan dan keahlian komunikasi yang canggih juga diperlukan untuk mengelola organisasi. Mulai dari level perusahaan hingga pemerintahan.
Ia mengatakan, komunikasi yang berkualitas akan mencerahkan sekaligus memberdayakan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai hal ini, ungkapnya, adalah dengan komunikasi autentik.
Di tengah era disrupsi digital yang didominasi media sosial, Prof. Komaruddin mengatakan, integritas dalam komunikasi diperlukan untuk meninggalkan kesan. Sebab, integritas turut berkaitan dengan kredibilitas seseorang saat berkomunikasi. Terutama di era digital yang mudah mengakses informasi. (NIS/SAM)
