
Ada baiknya, perusahaan melakukan identifikasi risiko dan memitigasi sebuah isu sebelum berubah menjadi krisis. Simak caranya!
YOGYAKARTA, HUMASINDONESIA.ID – Menghadapi berbagai bentuk ketidakpastian, mulai dari risiko, isu, dan krisis, adalah satu hal yang tidak terelakkan bagi organisasi manapun. Oleh karena itu, mengidentifikasi ketiganya menjadi sangat penting guna meminimalisir potensi kerugian. Sayangnya, masih banyak yang salah menafsirkan ketiga aspek tersebut, sehingga penanganan yang diberikan menjadi tidak efektif.
Dalam hal ini founder Nagaru Communication Dian Agustine Nuriman mengatakan, sejatinya ketiganya memiliki perbedaan mendasar, karena masing-masing menunjukkan level eskalasi dari potensi masalah yang dihadapi organisasi. “Risiko berada di level terendah. Potensi gangguan masih berupa kemungkinan yang dapat diprediksi dan diantisipasi,” jelas perempuan yang juga menjabat Tenaga Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu di hadapan peserta workshop Anugerah HUMAS INDONESIA (AHI) 2024 di Yogyakarta, Kamis (10/10/2024).
Masalah yang dikategorikan sebagai risiko, lanjut Dian, dapat berkembang secara bertahap menjadi isu, dan berpotensi meningkat menjadi krisis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa risiko bisa jadi langsung berkembang menjadi krisis tanpa melewati level isu. “Contohnya kebakaran, pesawat jatuh, kecelakaan, itu tidak perlu ada isu dulu, tetapi kita sudah tahu bahwa ada risiko-risiko tersebut,” imbuhnya.
Adapun yang disebut dengan isu adalah ketika potensi masalah mulai terlihat atau bahkan berdampak pada operasional maupun reputasi perusahaan, tetapi masih bisa dikelola. Pada tahap ini, kata Dian, organisasi perlu memberikan perhatian khusus dan bertindak cepat agar isu tidak berkembang menjadi situasi yang lebih serius.
Sementara itu Anne Gregory dalam penelitian Reny Ariani yang berjudul Peran Public Relations dalam Manajemen Isu di UGM (Studi Kasus Peran Humas UGM dalam Mengelola Isu Relokasi Kantin Humanira Mandiri (UGM) menjelaskan, isu dapat didefinisikan sebagai keprihatinan masyarakat terhadap keputusan dan operasional organisasi, dan/atau sebuah titik konflik dalam berpendapat mengenai keputusan maupun operasionalnya organisasi.
Kemudian yang disebut krisis, lanjut Dian, merupakan situasi darurat yang telah mengancam stabilitas dan reputasi organisasi secara keseluruhan. Pada level ini, organisasi harus bertindak secara cepat untuk meminimalisir dampak buruk sekaligus mengembalikan kepercayaan publik. “Mudahnya, masalah dapat dikatakan krisis kalau sudah mengakibatkan kerugian,” ucap perempuan berdarah Sunda itu.
Parameter
Dalam konteks penanganan risiko, isu, maupun krisis, kata Dian, setiap organisasi terlebih dahulu perlu menetapkan parameter yang jelas untuk masing-masingnya. Fungsinya sebagai panduan identifikasi dan evaluasi potensi masalah. “Dengan parameter yang terdefinisi dengan baik, organisasi dapat melakukan analisis yang lebih mendalam dan respons lebih terencana,” imbuhnya.
Dian mencontohkan, parameter tersebut dapat dibuat berdasarkan kategorisasi media massa. Pemberitaan bernada negatif dari media tier 3, misalnya, berkemungkinan kecil untuk menjadi krisis. Atau, kuantitas berita negatif yang dimuat oleh sebuah media juga bisa menunjukkan level masalah. “Yang jelas, parameter di setiap organisasi pasti berbeda-beda karena katakter audiensnya juga berbeda,” pungkasnya. (AZA)
