Jojo, Ketua APPRI: 'Stop Bajak-Membajak SDM PR!' (Bag. 2)

Share post

Kesibukan Suharjo Nugroho makin bertambah. Selain karena ia baru saja dinobatkan sebagai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) periode 2017 - 2020, pria yang akrab disapa Jojo itu tergerak untuk kembali ke kampus, berbagi ilmu praktis dan tren terkini yang terjadi di lapangan. Semua upaya itu, ia lakukan demi keberlangsungan industri PR.

JAKARTA, HUMASINDONESIA.ID - Seperti ketika pria yang menjabat sebagai Managing Director IMOGEN PR ini kami temui sehari setelah kembali dari mengunjungi universitas di Yogyakarta dan Solo di kantornya di Jakarta, Rabu (13/12/2017). Tak ada guratan lelah di wajahnya, yang ada justru semangat untuk berbagi cerita. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, ayah dua anak ini berkisah tentang ide dan harapannya terhadap dunia PR di tanah air. Berikut ini kutipannya. 

Isu apa itu?

Bajak membajak SDM. Isu ini sebenarnya sudah lama kami rasakan, mengemuka lagi ketika rapat APPRI beberapa waktu lalu. Kami meyerukan, “Stop bajak membajak!” Karena kondisi yang kami alami, anak-anak (baca: karyawan) kami kalau tidak dibajak sama klien, ya, dibajak sama agensi. Akhirnya, saling berebut talent. Bagaimana kita mau kolaborasi, kalau kita masih saling bajak? Padahal ini baru soal fresh graduate, lho.

Kami jadi seperti training center. Sudah-susah mencari talent yang cocok dan bisa langsung kerja. Begitu dapat, kami grooming 1-2 tahun, belum sempat jadi manajer, hilang. Akhirnya yang terjadi sekarang, middle level (manajer) kosong. Kondisi serupa juga terjadi di sisi klien. 

Yang jadi pertanyaan, kenapa kita harus berebutan talent? Kenapa kita susah mendapatkan talent yang siap kerja padahal ada ribuan sarjana komunikasi yang lulus tiap tahun? So, mau enggak mau kita harus kembali ke kampus. Sebab ada gapantara ekspektasi industri dengan kualitas lulusan. Sebenarnya gap ini sudah ada sejak zaman saya kuliah. Tapi era digital membuat pace perubahan lebih cepat, gap-nya makin lebar.

Kalau gap dibiarkan tambah lebar, lulusan banyak tapi tidak match dengan kebutuhan industri, apa yang akan terjadi? Ingat, sekarang sudah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kalau lulusan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand masuk ke Indonesia, lalu match dengan kebutuhan industri, sarjana-sarjana lulusan dalam negeri makin tidak terpakai. Kondisi ini sudah dialami oleh tetangga kami di bagian advertising.

Ada yang bilang, kita paling tahu local wisdom?

Memang benar. Local wisdom is one thing, tapi kebutuhan tren PR di masa depan yang lebih digitalize juga one thing. Masak kita hanya menguasai local wisdom padahal kebutuhan digital lebih besar? Dalam beberapa hal, kemampuan orang luar membaca local wisdom itu bahkan bisa dikawinkan dengan teknologi. Jadi, seharusnya kita menguasai keduanya (local wisdom dan teknologi) dan mampu menyediakan kebutuhan itu. 

Dengan kondisi seperti sekarang, seberapa potensial Anda melihat generasi penerus PR?

Sebenarnya generasi millennials kita itu pintar dan pembelajar cepat. Mereka digital native. Kemampuan mereka tidak kalah dengan lulusan lain di negara ASEAN. Tinggal bagaimana kurikulum bisa menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Mereka juga harus belajar lebih banyak praktik dengan terjun ke lapangan sehingga bisa menyempurnakan ilmu yang tidak mereka dapat dari kampus. Setidaknya ketika mereka lulus, mereka memiliki portofolio yang bisa dijual. 

Seperti apa dinamika PR saat ini?

PR lagi sunrising. Kondisi ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, tapi global. Data dari Public Relations Organisation International (PROI) dan International Communications Consultancy Organisation (ICCO) menunjukkan, tahun depan pace-nya akan lebih cepat dibanding tahun sebelumnya. CEO juga akan melihat corporate reputation lebih serius dan meyakini PR harus berada di leher CEO. Marketeers juga begitu. Anggaran akan lebih banyak ke PR karena CEO-nya bilang begitu. Kalau corporate reputation tidak bagus, mereka tidak bisa jualan. Nah, siapa yang mengelola corporate reputation? Ya PR.

Sama seperti di negara kita. Presiden kita sudah concern dengan keberadaan PR. Seharusnya, kepedulian Presiden Joko Widodo ini diturunkan lebih serius. Salah satunya, membentuk Dewan Kehumasan yang di dalamnya diisi oleh orang-orang berdedikasi, memiliki visi misi membesarkan industri PR, berperan membahas dan mengawal agar industri PR di dalam negeri lebih kuat dan berkembang. Mereka juga bisa menjadi penjembatan antarpraktisi dan organisasi PR. 

Sekarang, masing-masing dari kita masih sibuk berorganisasi. APPRI anggotanya para praktisi, Perhumasri–humas rumah sakit, H3—insan humas hotel, ISKI—akademisi komunikasi. Kita saling kenal, tapi belum ada wadah yang mempertemukan kami untuk bersama-sama memikirkan dunia PR di Indonesia. 

Kompetensi apa yang harus dimiliki PR di saat perannya makin dibutuhkan seperti saat ini?

Kemampuan untuk membaca data dan insight. Pernyataan ini mengemuka saat PROI Summit, akhir Maret 2017. Orang yang mempunyai kemampuan membaca data akan memiliki kemampuan membuat insight. Orang yang punya insightbagus akan bisa membuat strategi yang bagus. Sebab, strategi bagus itu bukan tiba-tiba muncul bak mukjizat dari Tuhan. Tapi, berawal dari data-data yang ada. 

Setelah itu?

PR juga harus bisa memberikan excellent digital services. PR bukan lagi earned. PR saat ini sudah PESO —paid, earned, shared, owned. Dia tidak mesti menguasai semuanya, tapi memahami arsirannya. Bahwa nanti detilnya, dia harus berkolaborasi dengan mereka yang ahli di bidangnya, tapi dia mesti paham karena PR mengurusi semuanya. 

Selanjutnya?

Mengutip pernyataan Paul Holmes, salah satu guru di industri PR, founder dan CEO The Holmes Report dan Sabre Awards, PR sekarang dan masa depan harus memiliki empat kualitas. Antara lain  curiosity, courage, integrity, dan empathyCuriosity (keingintahuan) adalah “kepo”—dalam konteks positif—mempelajari the new way of communicating with peopleCourage adalah keberanian untuk meninggalkan cara lama untuk beralih ke digital. Integrity (integritas) berkaitan dengan era hoaks. Kalau PR tidak memiliki integritas, dia akan dengan mudahnya menghajar kompetitor dengan membuat hoaks—jadi tukang pelintir berita. PR juga harus memiliki empati. Inilah yang membedakan antara profesional PR dengan disiplin yang lain. Ketika sedang mengalami krisis, PR harus memiliki empati terhadap korban.

Selain itu, PR harus memiliki kompetensi digital storytelling dan social listening. Dua hal ini yang menurut The Global Communications Report yang dilakukan the Holmes Report bekerja sama dengan University of Southern California's Center for Public Relations akan memengaruhi masa depan PR. Selain harus mengetahui audience insight, PR juga harus mampu menceritakannya. PR juga harus banyak mendengarkan percakapan tentang brand korporasi, salah satunya di media sosial. PR juga harus terus belajar dan beradaptasi. (rtn)


Share post

Tentang Penulis
Humas

Humas